Pengalaman
saya ketika memenuhi panggilan Kantor Urusan Agama (KUA) pada 1 Agustus 2017
untuk memastikan bahwa data yang diinput sebagai sumber pembuatan buku nikah
telah sesuai dengan yang sebenarnya, karena kesalahan dalam input data,
misalkan kesalahan penulisan nama, maka untuk pembetulannya bukan lagi di KUA,
melainkan di Pengadilan Agama dengan biaya yang tidak sedikit.
Dijelaskn
oleh Bapak Kepala KUA mengenai syarat sahnya nikah, ada 4, yaitu:
- Calon Pengantin Pria dan Calon Pengantin Wanita
Tidak bisa kalau hanya
ada dua Calon Pengantin, harus secara tegas disebutkan ada Calon Pengantin Pria
dan Calon Pengantin Wanita, karena pernah kejadian pernikahan sesama jenis.
- Wali
Jika ada Ayah, maka
harus seorang Ayah Kandung, bukan Ayah Akte Kelahiran / Ayah angkat. Dan jika
Anak yang akan dinikahkan itu sudah ada sebelum akad nikah / hamil di luar
nikah, maka sebaiknya berkata secara jujur kepada pihak KUA.
- 2 orang saksi yang mengerti maksud dari kalimat akad nikah yang digunakan (Bahasa Indonesia / Bahasa Arab / Bahasa Inggris)
- Akad nikah
Mengingat
pentingnya syarat ini untuk dipenuhi karena berkaitan dengan sah atau tidaknya
sebuah pernikahan, jika sampai tidak sah, maka akan terjadi zina seumur hidup,
yang dosanya pasti sangat besar.
Mengenai
Mahar Pernikahan sebaiknya menggunakan jumlah yang sesuai dengan
kebanyakan pernikahan pada umumnya, dalam hal ini sebesar Rp 1.000.000 (September
2017). Karena ketika mahar yang diberikan lebih sedikit, nantinya akan
dipertanyakan, secara logika bisa digambarkan dengan pertanyaan “wanita ini
dibesarkan oleh orang tuanya dari kecil hingga sebesar ini, kemudian ketika
sudah besar, kamu minta kepada orang tuanya, masak iya kamu memberikan mahar
sekehendak hatimu?”
Mahar
Al-Qur’an dan Seperangkat Alat Sholat biasanya tidak dibaca dalam kalimat akad
nikah, mengapa? Menurut beberapa orang di lingkungan tersebut tidak dibaca karena
takutnya nanti akan jadi memberatkan, ketika memberikan mahar tersebut maka
Al-Qur’an harus dibaca setiap hari meski hanya 1 ayat, sholat harus didirikan
di awal waktu setiap kali sholat (menyempurnakan sholat), jika kedua hal ini
tidak dilakukan, suaminya yang bedosa.
Untuk
meminimalkan terjadinya kasus perceraian, pihak KUA juga menanyakan secara
langsung kepada Calon Pengantin Wanita apakah terdapat unsur paksaan dalam
pernikahan yang akan dilaksanakan.
Pihak
KUA juga menjelaskan bahwa jam operasional KUA adalah hari Senin sampai dengan
Jumat mulai pukul 07.30 / jam kerja berlokasi di KUA. Apabila menginginkan
pelaksanaan akad nikah selain pada hari dan jam kerja maka sebaiknya berkomunikasi
kepada pihak KUA.
“Pernikahan
seperti apa yang kamu inginkan?”
Saya
menjawab “pernikahan yang penting sah, seperti kata Hj. Lutfi (Wakil Kepala
KUA), beliau mengatakan “saya tidak suka sesuatu yang berlebihan, misalkan
mahar Rp 1.000.000 kemudian ditukar dengan koin seribuan, dirangkai dalam
bentuk masjid besar, kemudian dilindungi dengan kaca, biaya untuk merangkainya
Rp 500.000, mending ditambahkan ke maharnya jadi Rp 1.500.000 diwadahkan
amplop”
“saya
menginginkan pernikahan seperti dalam film Ketika Cinta Bertasbih 2, ketika itu
Azam (Calon Pengantin Pria) yang sudah lelah ikhtiar mencari Calon Istri
menemui Hj. Lutfi dengan membawa sebuah cincin. Azam menyerahkan cincin itu
kepada Hj. Lutfi agar diberikan kepada santrinya yang mau memakainya (dijadikan
istri). Hj. Lutfi bertanya kepada Azam “Apa tidak ada keraguan sedikitpun dalam
hatimu untuk menikahi wanita ini?” Azam menjawab “jika menurut Pak Kyai wanitu
itu layak untuk saya, dan saya layak untuk wanita itu, maka tidak ada keraguan
sedikitpun dalam hati saya”. Kemudian Hj. Lutfi berkata “kalau begitu, nanti
kamu sholat maghrib di sini, ba’da sholat maghrib aku nikahkan kamu dengan
wanita itu, jamaah sebagai saksinya, cincin ini sebagai maharnya”. Azam
dinikahkan dengan putri Hj. Lutfi sendiri, malam itu juga mereka sudah sah
sebagai suami istri.
Saya
menginginkan penikahan yang sederhana, ya memang menikah itu sekali dalam
seumur hidup, jika ingin Calon Pengantin Wanita didandani secantik mungkin itu
tidak masalah, asalkan jangan sampai karena alasan pernikahan itu hanya sekali
dalam seumur hidup kemudian kita mengadakan pesta meriah yang akhirnya
memberatkan diri kita sendiri. Ketika berniat mengadakan pesta dan terdapat
kekurangan biaya, mau tidak mau kita pasti menutupinya dengan pinjaman. Jika
kita berharap dapat melunasi pinjaman itu dengan “buwuh an” (uang yang
diberikan oleh para tamu undangan untuk membantu jalannya pesta pernikahan),
hal ini belum pasti jumlah, iya kalau bisa melunasi seluruhnya, kalau tidak?
itulah yang nantinya justru memberatkan diri kita sendiri. Karena saya
menyadari kebutuhan hidup untuk kedepannya bukan semakin sedikit, tetapi
semakin banyak, khususnya kebutuhan untuk kesehatan yang tidak bisa menunggu.