Thursday, October 29, 2015

Rasanya Sudah tidak Sabar Aku Ingin Pulang



Rencana pulang ke rumah yang sudah aku angan-angankan dari seminggu lalu. Mulai menguat di hari Senin kemarin dan aku putuskan sore ini, esok Jumat telah tiba, tidak sabar menantikan saat aku berada di rumah. Home sweet home – rumahku tersayang, rumahku surgaku, di sana banyak berkumpul orang-orang yang aku sayangi dan lebih menyayangiku.

Ada nenekku dari Ayah yang rela makan lauk (sambel tempe, tahu rebus, krupuk meski sering batuk dan batuknya itu dalem banget, sampai terkencing-kencing kadang) dan membiarkan anak cucunya makan telur. Maklum sudah usia lanjut, harus selalu menjaga makan agar linunya tidak menjadi-jadi. Setiap hari beliaulah yang menyiapkan segala keperluan makanku atau apapun itu, bahkan jika dia tau aku akan pulang, dia yang sudah kesulitan berjalan, kulitnya kriput dan jauh tidak sekuat yang dulu itu menyapu rumah, halaman, juga membersihkan kamarku. Pernah juga nenekku yang satu ini nangis ketika aku pulang setelah sekian lama tidak pulang, kangen paling, cieeee, ha ha. Malam itu dia juga nangis ketika menyambutku sepulang dari rumah sakit, dia berkata dalam Bahasa Jawa “yongalah diii mbok e gak iso ngopeni neng kono”, aku dipeluk. Kata-kata itu jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia agak susah, kurang lebih seperti ini “(ungkapan penyesalah, rasa sedih) karena tidak bisa merawatku, menemaniku ketika sakit”.

Satu lagi nenekku dari Ibuk, dia yang sangat ingin ikut besut aku di rumah sakit, tapi Ibuk melarangnya, dia paling tidak tega melihat cucunya yang ganteng (bukan yang paling ganteng karena cucu cowoknya ada dua) ini sakit, nangis terus pasti nanti kalau ikut besut. Kebiasaannya menyembunyikan jajan yang dikirim Ibuk atau dari manapun yang dia dapatkan dan dibuka hanya ketika ada aku. Nenekku yang satu ini paling tahu kalau aku sangat suka jajan, he he. Mungkin turunan dari Ibuk dulu, yang ketika mengandungku nyidam jajan Walimatul Ursy. Ha ha, sampai-sampai aku yang tidak hamil pun ikut nyidam juga. Gigi kami sama-sama gigi kelinci, gigi dua depan bagian atas besar. Aku juga masih teringat ketika kami beli kabel listrik kawat yang warna merah, biru, dan hitam ketika masa membangun gubuk kecilku yang nyaman. Ketika itu aku masih baru lulus SMA sepertinya. Aku mengingat ketika berada di sebuah toko bangunan Cina atau semacamnya, Ibukku dengan lihai berbicara Bahasa Mandarin sepertinya, Ibuk super memang. Kata si penjual di toko itu kita berdua sangat mirip, pasti jodoh begitu katanya. Hoe hoe hoe, aku anaknya. Uh ternyata diriku ini lulusan SMA dikira suaminya, Nampak tua aku, ha ha, atau Ibukku yang memang nampak muda? Itu misteri, he he, namun aku harus mengakuinya.

Dua orang nenek yang paling cantik, selalu kangen masakkan mereka. Kamu bisa bayangkan tergambar sebuah senyuman di wajah mereka ketika kamu sangat menyukai dan memakan lahap setiap masakan yang dibuatnya. Perutku punya dua ruang yang harus aku sediakan. Meski sama-sama goreng tempe tetapi berasa beda, masing-masing memiliki ciri khasnya tersendiri, tidak ada yang bisa aku lewatkan. Kedua nenekku itu paling seneng kalau cucunya maen, apalagi sering dan dalam waktu yang lama maen e. Melihat cucunya, bagi mereka adalah kebahagiaan tersendiri. Hadirnya cucu di rumah nenek, bagi mereka sebuah tanda sayang, tidak ada benci, menenangkan hati. Kau bisa menggambarkannya dengan menjawab pertanyaan “Apa yang kamu rasakan ketika kamu sudah di usia senja kelak anak cucumu tidak ada yang sudi menjengukmu??”. Tidak ada yang membuatmu lebih bahagia daripada kehadiran mereka semua bukan?? apalagi di saat-saat maut segera menjemputmu. Aku tersadar ketika memperhatikan sebuah percakapan di moment-moment akhir film “Mama Cake”.

“iiih . .
Belagu nih mentang-mentang udah jadi anak muda . .
Nenek nggak pernah ditengok in . .
Kalau nggak sakit, kamu nggak bakalan nengok nenek . .”

Dalam dialog berikutnya aku menemukan pesan dari seorang nenek. Dia berpesan bahwa yang paling penting hatinya di bener in dulu, jangan hanya mengejar kepintaran, kalau hanya mengejar kepintaran salah jalan jadinya, “keblinger” dalam Bahasa Jawa. Bener baru pinter.

Ini adikku, kangen berlomba banyak-banyak an makan es lilin sama adik bungsuku itu, dia makan e lebih banyak daripada aku, akhirnya tinggi besarnyapun hampir sama denganku meski usia kami jauh berbeda. Hanya saja yang aku rasakan ketika aku makan sesuatu, adik sulungku bangkit nafsu makannya. Mungkin dia ingin menemaniku makan atau terasa nikmat bila makan bersamaku, aku hanya bisa berkata “alkhamdulillah”. Sore ini pun aku sudah memesan es lilin kepada adikku yang paling cantik, adik nomor dua, dari foto yang ia kirim menunjukkan kacang ijo yang telah dimasak, tinggal nunggu dingin untuk dijadikan es lilin. Karena cewek, dia bukan jagonya lomba makan, takut ndut nanti, ha ha. Sukanya foto-foto kebersamaan kami, lalu ia kirim ke Ibukku tersayang. Mengabadikan momen-momen kebersamaan ini. Doaku semoga kita akan selalu rukun jaya sampai akhir hayat, aamiin.

No comments:

Post a Comment