Rencana pulang ke rumah yang sudah
aku angan-angankan dari seminggu lalu. Mulai menguat di hari Senin kemarin dan
aku putuskan sore ini, esok Jumat telah tiba, tidak sabar menantikan saat aku
berada di rumah. Home sweet home – rumahku tersayang, rumahku surgaku,
di sana banyak berkumpul orang-orang yang aku sayangi dan lebih menyayangiku.
Ada nenekku dari Ayah yang rela makan
lauk (sambel tempe, tahu rebus, krupuk meski sering batuk dan batuknya itu
dalem banget, sampai terkencing-kencing kadang) dan membiarkan anak cucunya
makan telur. Maklum sudah usia lanjut, harus selalu menjaga makan agar linunya
tidak menjadi-jadi. Setiap hari beliaulah yang menyiapkan segala keperluan
makanku atau apapun itu, bahkan jika dia tau aku akan pulang, dia yang sudah
kesulitan berjalan, kulitnya kriput dan jauh tidak sekuat yang dulu itu menyapu
rumah, halaman, juga membersihkan kamarku. Pernah juga nenekku yang satu ini
nangis ketika aku pulang setelah sekian lama tidak pulang, kangen paling,
cieeee, ha ha. Malam itu dia juga nangis ketika menyambutku sepulang dari rumah
sakit, dia berkata dalam Bahasa Jawa “yongalah diii mbok e gak iso ngopeni neng
kono”, aku dipeluk. Kata-kata itu jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
agak susah, kurang lebih seperti ini “(ungkapan penyesalah, rasa sedih) karena
tidak bisa merawatku, menemaniku ketika sakit”.
Satu lagi nenekku dari Ibuk, dia yang
sangat ingin ikut besut aku di rumah sakit, tapi Ibuk melarangnya, dia paling
tidak tega melihat cucunya yang ganteng (bukan yang paling ganteng karena cucu
cowoknya ada dua) ini sakit, nangis terus pasti nanti kalau ikut besut. Kebiasaannya
menyembunyikan jajan yang dikirim Ibuk atau dari manapun yang dia dapatkan dan
dibuka hanya ketika ada aku. Nenekku yang satu ini paling tahu kalau aku sangat
suka jajan, he he. Mungkin turunan dari Ibuk dulu, yang ketika mengandungku
nyidam jajan Walimatul Ursy. Ha ha, sampai-sampai aku yang tidak hamil pun ikut
nyidam juga. Gigi kami sama-sama gigi kelinci, gigi dua depan bagian atas
besar. Aku juga masih teringat ketika kami beli kabel listrik kawat yang warna
merah, biru, dan hitam ketika masa membangun gubuk kecilku yang nyaman. Ketika
itu aku masih baru lulus SMA sepertinya. Aku mengingat ketika berada di sebuah toko
bangunan Cina atau semacamnya, Ibukku dengan lihai berbicara Bahasa Mandarin
sepertinya, Ibuk super memang. Kata si penjual di toko itu kita berdua sangat
mirip, pasti jodoh begitu katanya. Hoe hoe hoe, aku anaknya. Uh ternyata diriku
ini lulusan SMA dikira suaminya, Nampak tua aku, ha ha, atau Ibukku yang memang
nampak muda? Itu misteri, he he, namun aku harus mengakuinya.
Dua orang nenek yang paling cantik,
selalu kangen masakkan mereka. Kamu bisa bayangkan tergambar sebuah senyuman di
wajah mereka ketika kamu sangat menyukai dan memakan lahap setiap masakan yang
dibuatnya. Perutku punya dua ruang yang harus aku sediakan. Meski sama-sama goreng
tempe tetapi berasa beda, masing-masing memiliki ciri khasnya tersendiri, tidak
ada yang bisa aku lewatkan. Kedua nenekku itu paling seneng kalau cucunya maen,
apalagi sering dan dalam waktu yang lama maen e. Melihat cucunya, bagi mereka
adalah kebahagiaan tersendiri. Hadirnya cucu di rumah nenek, bagi mereka sebuah
tanda sayang, tidak ada benci, menenangkan hati. Kau bisa menggambarkannya
dengan menjawab pertanyaan “Apa yang kamu rasakan ketika kamu sudah di usia
senja kelak anak cucumu tidak ada yang sudi menjengukmu??”. Tidak ada yang
membuatmu lebih bahagia daripada kehadiran mereka semua bukan?? apalagi di
saat-saat maut segera menjemputmu. Aku tersadar ketika memperhatikan sebuah
percakapan di moment-moment akhir film “Mama Cake”.
“iiih . .
Belagu nih mentang-mentang udah jadi
anak muda . .
Nenek nggak pernah ditengok in . .
Kalau nggak sakit, kamu nggak bakalan
nengok nenek . .”
Dalam dialog berikutnya aku menemukan
pesan dari seorang nenek. Dia berpesan bahwa yang paling penting hatinya di
bener in dulu, jangan hanya mengejar kepintaran, kalau hanya mengejar
kepintaran salah jalan jadinya, “keblinger” dalam Bahasa Jawa. Bener baru
pinter.
Ini adikku, kangen berlomba
banyak-banyak an makan es lilin sama adik bungsuku itu, dia makan e lebih
banyak daripada aku, akhirnya tinggi besarnyapun hampir sama denganku meski
usia kami jauh berbeda. Hanya saja yang aku rasakan ketika aku makan sesuatu,
adik sulungku bangkit nafsu makannya. Mungkin dia ingin menemaniku makan atau
terasa nikmat bila makan bersamaku, aku hanya bisa berkata “alkhamdulillah”. Sore
ini pun aku sudah memesan es lilin kepada adikku yang paling cantik, adik nomor
dua, dari foto yang ia kirim menunjukkan kacang ijo yang telah dimasak, tinggal
nunggu dingin untuk dijadikan es lilin. Karena cewek, dia bukan jagonya lomba
makan, takut ndut nanti, ha ha. Sukanya foto-foto kebersamaan kami, lalu ia
kirim ke Ibukku tersayang. Mengabadikan momen-momen kebersamaan ini. Doaku
semoga kita akan selalu rukun jaya sampai akhir hayat, aamiin.
No comments:
Post a Comment